Cerita di balik Tugu (Bundaran) "Ale-ale" Ketapang

"Bundaran Ale-ale" begitulah sebutan masyarakat Ketapang untuk tugu pada sebuah bundaran yang terdapat di salah satu perempatan jalan raya di Kabupaten Ketapang. Bundaran Ale-ale juga kabarnya adalah merupakan titik nol dari Kota Ketapang. Bundaran ini terletak di perempatan Jl. R. Suprapato dan Jl. K.H. Murni. Di sebelah selatan bundaran ini terdapat Sungai Pawan dan sebuah jembatan yang disebut Jembatan Pawan 1. Jembatan tersebut menghubungkan Kecamatan Delta Pawan dengan Kecamatan Muara Pawan. Bundaran ini melambangkan Kota Ketapang sebagai Kota Ale-ale. Sementara, ale-ale sendiri adalah sejenis kerang yang dapat dikonsumsi dan sekaligus menjadi makanan khas daerah ini. Kerang jenis ale-ale ini katanya hanya terdapat di Ketapang saja. Para nelayan Ketapang mengambil kerang ini di kuala Sungai Pawan.

Konon ada sebuah legenda tentang ale-ale, yakni cerita tentang sebuah pohon super besar yang dinamakan Pohon Ketapang. Dahulu, orang-orang hidup di bawah pohon itu. Saking besarnya, bentangan pohon itu menutupi perkampungan dari hulu hingga ke hilir. Dedaunannya sangat lebat, bahkan saking lebatnya cahaya matahari sulit sekali menembus sampai ke tanah. Akibatnya padi tidak subur, pakaian tidak kering karena tidak tersentuh panasnya sinar matahari, dan banyak masyarakat yang terjangkit penyakit beri-beri. Sampai pada suatu waktu ada seorang warga yang berinisiatif menebang pohon super besar itu dikarenakan mulai terasa mengganggu kehidupan masyarakat setempat. Namun sialnya, sekeras apa pun usaha yang dilakukan, hanya berakghir sia-sia sebab setiap kali ditebang, bentuk dari pohon tersebut selalu kembali ke bentuknya semula.

Pohon Ketapang
Suatu hari seorang warga mendapat wangsit dari alam gaib. Pesan dari wangsit itu berbunyi,"Kalian tidak akan bisa menebang pohon itu hanya dengan tenaga dan besi yang kalian miliki, tempalah sebuah kapak perak untuk menebang pohon itu, tapi jangan salahkan saya atas apa yang telah kalian lakukan, karena kalian tidak senang kami hidup bersama kalian".

Selanjutnya, orang itu pun terbangun dan memberitahukan apa yang telah dimimpikannya kepada tetua adat. Mendengar wangsit itu, mereka pun membuat sebuah kapak Perak yang sesuai dengan apa yang telah diwangsitkan. Aneh bin ajaib, pohon itu dapat ditebang. Orang-orang sudah mempersiapkan diri dari kejauhan, ada yang ke hulu dan ada juga yang ke hilir. Betapa besarnya pohon itu, dan ketika tumbang terjadilah sebuah keajaiban. Pohon itu raib bak ditelan bumi. Kemanakah Pohon Ketapang raksasa itu? Rupanya pohon Raksasa itu berubah menjadi sebuah sungai besar yang sekarang dinamakan Sungai Pawan yang membentang dari hulu hingga ke hilir. Dan buah-buah dari pohon Ketapang itu berubah menjadi hewan kerang yang kita sebut sebagai Ale-Ale. Sayangnya, orang-orang desa itu menyesal karena menebangnya, karena kulit mereka jadi hitam akibat panas dan tidak ada lagi pohon besar yang telah melindungi mereka. Sejak saat itu desa itu dinamakan Ketapang.

Demikianlah legendanya. Terlepas dari masuk akal tidaknya sebuah cerita, sebagai warga Ketapang sudah selayaknya untuk berbangga kepada apa yang telah diberikan dan kita harus bersyukur. Demikian pesan dari cerita tersebut. Kembali kepada tugu ale-ale. Apapun bentuknya, jangan sampai dijadikan citra etnitika belaka, jadikanlah itu sebagai icon masyarakat yang berharga. Tiap hari lalu lalang di tugu itu sekali-kali tengoklah ke masa lalu. Ketapang adalah kota persatuan, segala etnis membangun Ketapang. Kita adalah masyarakat Ketapang, tunjukkanlah kecintaan kita terhadap kota ASRI ini.

Get This Comment Form