Belangkait adalah nama suatu daerah di Eks-Kerajaan Simpang (sekarang masuk Kab. Kayong Utara). Tempat ini adalah tempat bersejarah bagi warga Kerajaan Simpang, bukan hanya sekedar nama daerah, tapi juga merupakan nama dari suatu peristiwa historis yang pernah terjadi di wilayah Kerajaan Simpang. Daerah ini adalah area yang menjadi medan pertempuran antara pasukan rakyat Simpang versus pasukan Belanda, sehingga dinamakan dengan nama Perang Belangkait.
Sekilas mengenai Kerajaan Simpang, kerajaan ini merupakan salah satu kerajaan pecahan dari Kerajaan Tanjungpura atau Matan-Tanjungpura. Di-asaskan oleh Pangeran Ratu Agung yang mendapatkan wilayah bagian utara Kerajaan Matan-Tanjungpura. Dinamakan Kerajaan Simpang, karena lokasinya berada di persimpangan Sungai Simpang, sehingga akhirnya dikenali dengan nama Kerajaan Simpang-Matan atau Kerajaan Simpang saja. Sedangkan bagian lainnya dari pecahan Kerajaan Matan-Tanjungpura bernama Kerajaan Matan-Kayong (kemudian nantinya berubah menjadi Matan-Muliakerta ketika pusat kerajaan dipindah oleh Gusti Muhammad Sabran ke Muliakerta Ketapang), yang dipimpin oleh saudara Pangeran Ratu Agung yakni Pangerat Mangkurat.
Perang Belangkait terjadi pada masa pemerintahan Panembahan Gusti Panji (kurang lebih sekitar tahun 1910an). Sebab musababnya adalah karena Belanda bermaksud menerapkan pajak diri atau belasting kepada rakyat Kerajaan Simpang. Penerapan belasting ini dengan serta merta ditolak oleh rakyat Kerajaan Simpang dan Panembahan Gusti Panji.
Belanda yang memaksakan kehendak, coba menekan Panembahan Gusti Panji untuk menyetujuinya, tapi ditolak oleh Panembahan. Sehingga beliau diancam akan di-asingkan oleh Belanda, sempat ditahan dan dibawa dengan kapal tapi akhirnya gagal, karena konon kapal yang membawanya menjadi oleng sebelah.
Setelah gagal membujuk dan menahan Panembahan Gusti Panji, maka pasukan Belanda tetap memaksakan memungut pajak belasting dengan cara paksaan dan menggunakan kekerasan fisik. Hal ini akhirnya membuncahkan kemarahan rakyat dan memunculkan semangat perlawanan.
Muncullah figur Kyai/Ki Anjang Samad, seorang tokoh masyarakat, seorang Patih dari Kampong Sepuncak yang mengobarkan semangat perlawanan tersebut. Ki Anjang Samad kemudian meminta restu dan persetujuan Panembahan untuk mengangkat senjata. Panembahan Gusti Panji yang sudahpun muak dengan tindak tanduk Belanda yang tak tahu adat, kemudian menyetujui dan ikut turun ke rakyatnya untuk mengobarkan perlawanan. Mengangkat senjatalah pasukan rakyat Kerajaan Simpang dibawah pimpinan Ki Anjang Samad dengan mendapat dukungan beberapa Patih dan Panglima-panglima lainnya. Termasuk Panglima-panglima Dayak dari kawasan pedalaman Simpang dan Tumbang Titi.
Selama pertempuran terjadi dalam rangkaian perang ini, muncul tokoh-tokoh pejuang dari Tanah/Negeri Simpang. Salah satu tokoh yang masyhur dalam peperangan ini adalah Legenda Ki Julak Laji, seorang pejuang yang berdasarkan cerita tutur, konon selalu membawa cucunya dalam bertempur. Dengan menggendong (mendukong) cucunya di belakang, Ki Julak Laji maju dalam tiap pertempuran. Sang cucu berperan untuk mengisi peluru timah yang dibulat-bulatkan untuk senapang (setinggar/lontak) Sang Datok. Dan, konon karena memiliki kekebalan, maka peluru pasukan Belanda tiada telap (tak mempan) menembus Ki Julak Laji. Masih menurut cerita lisan, Ki Julak Laji wafat karena terserang demam panas, akibat sering berendam dalam air jika tertembak bertubi-tubi oleh pasukan Belanda.
Tokoh lainnya yang juga sering diceritakan oleh masyarakat Simpang adalah kehandalan seorang tangan kanan Ki Anjang Samad, bernama Mok Rebbi. Beliau kerap berperang di dalam rawa-rawa (payak) sehingga tak bisa ditangkap oleh Belanda. Tokoh yang lain adalah Panglima Ligat/Legat, seorang panglima rakyat Simpang yang berani. Dalam kisahnya, beliau pernah menyerbu ke muka berhadapan dengan komandan Belanda di tengah pasukan Belanda seorang diri. Berhasil menetak Komandan Belanda dengan mandau/pedangnya, tapi tak dapat menewaskannya, karena ternyata Komandan Belanda menggunakan baju besi/zirah yang melindungi tubuhnya. Konon beliau sempat tertangkap oleh Komandan tersebut, tapi dapat lepas dan menghilang dalam satu teriakan.
Memang dalam perang ini akhirnya perlawanan rakyat Simpang dapat dihentikan, terutama ketika Belanda berhasil mendekati tokoh-tokoh Negeri Simpang lainnya, seperti Kyai Naim dari Pulau Kumbang (Kyai Naim pun mendapat bintang emas dan gelar Dewa Dewangsa Negara dari Belanda atas jasanya) dan sebagainya . Tapi Belanda pun akhirnya gagal menerapkan pajak belasting.
Dampak perang ini, kejayaan kekuasaan Gusti Panji menurun. Beliaupun menyuruh para pengikutnya untuk eksodus keluar dari kampong-kampong di pehuluan Negeri Simpang. Terjadilah eksodus besar-besaran ke wilayah pesisir sampai akhirnya pusat kerajaanpun menjadi sepi. Ditambah lagi dengan seiring tumbuh dan berkembangnya pusat kekuasaan baru sebagai pusat Kerajaan Simpang di Teluk Melano (sekarang ibukota Kecamatan Simpang Hilir, Kabupaten Kayong Utara) di bawah pimpinan Panembahan Gusti Muhammad Rum.
Sumber :
Cerita Tutur dari Wak Aba Rahmat (Tokoh Masyarakat) di Sungai Paduan.
Cerita Tutur Pak Ude Redi’ (Guru) di Sungai Paduan.
Sejarah, Adat dan Hukum Adat Kalimantan Barat, JU. Lontaan.
Source: http://sejarah.kompasiana.com/